Ketika saya duduk di tingkat SMP, sekolahnya di ibukota kabupaten, sementara saya tinggal di desa ibukota kecamatan. Desa saya letaknya cukup terpencil oleh karena itu saya harus tinggal di kota supaya dekat dengan sekolahan saya. Setiap 3 minggu sekali saya harus pulang ke desa untuk mengambil beras dan uang saku selama saya tinggal di kota dan juga sekaligus berlibur dan bertemu dengan keluarga tercinta. Seperti biasa jika saya pulang ke desa yang jaraknya kurang lebih 25 km saya tempuh dengan naik sepeda kesayangan. Banyak suka duka dalam kerutinan pulang-pergi ke kampung halaman tersebut. Pada suatu kesempatan saya harus kembali ke kota untuk membawa beras seberat 25 kg di boncengan sepeda saya. Biasanya beras saya ikat di boncengan sepeda dengan tali secukupnya agar tidak jatuh gara-gara goncangan saya dalam mengayuh sepeda. Setelah pamitan dengan ibu , saya berangkat meninggalkan rumah dengan sepeda berikut berasnya. Ketika itu saya tidak pamitan dengan ayah karena ayah sedang main judi di lain desa. Ketika perjalanan baru kurang lebih menempuh 5 km dari rumah tiba-tiba saya dikejutkan oleh teguran orang yang tidak saya kenal di pinggir jalan. “Le berase kutah” dalam bahasa jawa yang artinya “Nak berasnya tumpah”, saya segera menghentikan sepeda kemudian melihat karung yang ada di boncengan. Benar juga, kata orang itu. Kemudian saya bengong di pinggir jalan itu lama sekali karena bingung harus meneruskan perjalanan atau kembali ke rumah. Setelah kebingungan saya berakhir, saya memutuskan untuk kembali ke rumah dengan alasan tidak mungkin saya membawa beras yang hanya tinggal separuh untuk diberikan pada ibu kos yang ada di kota. Setelah sampai kurang dari 500 meter dari rumah, saya berhenti lagi dan bingung kembali, karena saya mulai ragu dan tiba-tiba muncul dipikiran saya, saya menjadi takut dimarahi oleh ibu saya gara-gara tidak hati-hati dalam membawa beras. Cukup lama saya bengong dan duduk di tepi jalan. Sudahlah pikir saya, apapun yang terjadi saya tetap harus kembali ke rumah, toh sudah dekat lagi akan sampai di rumah. Sesampai di rumah, ibu saya tidak ada di rumah, kata nenek ibu sedang pergi untuk mengikuti doa lingkungan di tempat salah satu keluarga di desa saya. Saya pergi menjemput ibu dan menjumpainya di sana. Ibu saya keluar dari rumah keluarga itu, kemudian saya memberi tahu kejadian yang sebenarnya, ibu kaget karena saya kembali dikiranya terjadi sesuatu yang mencelakakan saya, tetapi setelah tahu kejadiannya kemudian ibu memeluk saya sambil mengucapkan kata-kata “O alah le-le, beras kutah ora opo-opo, isih bisa digoleki maneh” dalam bahasa jawa yang artinya “Ya ampun nak-nak, beras tumpah tidak apa-apa, kesempatan lain masih bisa dicari”, kata-kata ibu itu malah membuat saya menangis terharu, pada saat itulah saya merasakan cinta ibu yang begitu mendalam.
Tebet, 08.30 PM Rabu, 29/11/2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar